Welcome Benvenuto Assalamualaikum Bienvenue Selamat Datang hua-nyíng-gua-nglín Willkommen Bienvenido Sugeng-Rawuh hwangyong-hamnida Wilujeung-Sumping Welkom Velkommen Aloha Salamaik-Datang Sawasdee

Wednesday, 25 September 2024

Kekuatan Kata



Saat ini, dinamika politik di Indonesia sedang hangat-hangatnya. Hal ini dipicu oleh serangkaian agenda politik tanah air yang memang cukup padat. Setelah awal tahun ini berbagai media dipenuhi oleh isu pemilihan presiden (pilpres), sekarang isunya bergeser ke arah pemilihan kepala daerah (pilkada) dengan berbagai isu turunan dari isu pilpres. Fenomena ini tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi dunia pemberitaan, terutama program-program yang bersifat talkshow di televisi. Berbagai macam talkshow muncul dengan berbagai topik pembahasan. Sebagian besar topik tersebut seputaran keluarga presiden Joko Widodo. Hal tersebut tentu sangat wajar karena berbagai macam kontroversi yang menyelimuti keluarga presiden akhir-akhir ini. Mulai dari isu politik dinasti, isu akun media sosial ‘fufufafa’, isu gratifikasi yang dituduhkan kepada anak bungsu dan menantu presiden, dan juga berbagai isu turut campur presiden dalam pilkada, atau lebih luas dikenal dengan istilah ‘cawe-cawe presiden’, terutama pilkada Daerah Khusus Jakarta.

Hal yang terakhir ini cukup menyita perhatian publik hingga beberapa program televisi dan siniar mengangkat tema ini. Salah satu program televisi yang mengangkat tema tersebut adalah program Rakyat Bersuara yang disiarkan oleh iNews TV, dengan tema ‘Banyak Drama Jelang Pilkada, Kenapa?’ yang disiarkan pada tanggal 4 September 2024 yang lalu. Dalam program yang dipandu oleh Aiman Wijaksono tersebut menghadirkan beberapa narasumber, di antaranya adalah relawan Anies, Geisz Chalifah; polisi PDIP, Chico Hakim; pengamat politik dan juga akademisi, Rocky Gerung, ketua umum Prabowo dan Jokowi Mania, Emanuel Ebenezer; juru bicara PKS, Ahmad Fahtul Bahri; dan ketua umum Solidaritas Merah Putih, Silfester Matutina.  Dalam durasi program sekitar dua jam tersebut, tentu yang menjadi perhatian adalah perdebatan antara Rocky Gerung dengan Silfester Matutina. 

Perdebatan tersebut berlangsung panas dan seru. Tentu hal ini sangat menarik apabila interaksi tersebut kita analisis dari sudut pandang linguistik, khususnya bagaimana strategi kesantunan (politeness strategy) dan juga efek perlokusi dari ujaran-ujaran mereka.  Dalam debat tersebut tentu terdapat berbagai macam strategi yang digunakan oleh keduanya. Bagaimana kata-kata dan frasa dipilih untuk menunjukkan posisi mereka baik secara politis maupun sosial. Selain itu, tentunya ujaran yang digunakan digunakan sedemikian rupa untuk memanipulasi, mendikte, memprovokasi, dan juga mengendalikan kekuasaan dalam komunikasi. Jika dihubungkan dengan teori semantik kognitif yang dikembangkan oleh John Saeed, tentu kita juga bisa menganalisis beberapa aspek seperti metafora dan metonimi yang digunakan.  Dalam hal ini, penggunaan bahasa selama debat ini juga bukan hanya mencerminkan realitas kognitif mereka, tetapi juga dapat mempengaruhi persepsi publik.

Setidaknya ada dua ungkapan yang menarik dari masing-masing Silfester Matutina dan Rocky Gerung dalam debat ini. Ungkapan Silfester “bujang lapuk” dan “pecundang” yang ditujukan kepada Rocky Gerung merupakan sebuah ujaran yang menyerang dan meremehkan status sosial Rocky Gerung. Dalam budaya Indonesia, status lajang dalam usia lanjut seringkali dinilai sesuatu yang negatif. Tentu hal ini dapat kita katakan bahwa Silfester menyerang ‘wajah positif’ Rocky Gerung sehingga ujaran ini berpotensi mengurangi nilai sosialnya di mata publik (Brown & Levinson, 1987). Pun begitu dengan kata ‘pecundang’ yang merupakan ungkapan untuk menyatakan seseorang yang gagal dalam mencapai sesuatu. Pelanggaran wajah positif dapat menyebabkan konflik dalam hubungan interpersonal. Ketika individu merasa bahwa citra positif mereka terancam, mereka mungkin merespons dengan defensif atau agresif, yang dapat memperburuk situasi (Tahira, 2024). 

Hal ini terlihat dari apa dilakukan oleh Rocky Gerung kemudian, yaitu dengan melakukan ‘serangan balik’ terhadap Silfester. Rocky sering kali menggunakan strategi kesantunan negatif dengan menggunakan pertanyaan retoris terhadap lawan bicaranya. Beberapa kali Rocky menanyakan sebuah konsep kepada Silfester dan Silfester seperti tidak bisa menjawabnya. Sehingga Rocky menyatakan “Ya bagaimana saya mau terangin kalau dia sedungu ini” dan “Kenapa youbodoh dengan prinsip itu.” Tentu, tindak tutur ini merupakan tindak tutur yang agresif dan menyerang. Kata ‘bodoh’ dan ‘dungu’ merupakan ungkapan yang menggambarkan bahwa Silfester tidak memiliki kemampuan intelektual dan kognitif untuk memahami apa yang disampaikan Rocky. Hal ini juga menyerang ‘wajah positif’ Silfester. Pelanggaran wajah positif dapat menyebabkan dampak emosional yang signifikan bagi individu yang terlibat. Rasa malu, frustrasi, atau kemarahan dapat muncul sebagai respons terhadap tindakan yang mengancam citra positif mereka (Martisa et al., 2021). Hal ini terlihat dengan betapa emosionalnya Silfester sehingga mengeluarkan kata-kata umpatan dan terlihat juga gerakan agresif seperti ingin menyerang Rocky Gerung secara fisik.

Sementara itu, dari segi semantik kognitif, frasa ‘bujang lapuk’ merupakan metafora konseptual yang umum, di mana kehidupan digambarkan sebagai sebuah perjalanan dengan tahap-tahap yang harus dilalui, seperti menikah. Ketika seseorang gagal mencapai titik tersebut dalam kurun waktu tertentu maka akan mendapat stigma negatif oleh Masyarakat (Saeed, 2016). Sementara itu, ungkapan Rocky Gerung jika ditelisik dari segi semantik kognitif dapat dimaknai bahwa Rocky merasa Silfester gagal dalam memahami konsep yang diajukan dan secara tidak langsung menggambarkan bahwa dia tidak kompeten. Kata ‘bodoh’ dan ‘dungu’ merupakan framing negatif yang memperkuat persepsi tersebut. 

Dari dinamika interaksi di atas, dapat kita lihat bahwa perdebatan yang terjadi tidak hanya karena perbedaan pandangan ideologis tetapi juga sudah menyerang ranah pribadi. Pelanggaran kesantunan yang digunakan oleh keduanya merupakan strategi defensif dalam menghadapi perdebatan argumentatif tersebut. Namun, hal ini tentu membuat debat menjadi kurang berkualitas karena menggeser isu substantif ke serangan pribadi. Sebagai sebuah tontonan, debat tersebut mungkin cukup menarik, akan tetapi sisi edukasinya menjadi hilang. Apalagi debat ini ditayangkan secara langsung di kanal publik dan di waktu siar utama.  

 


 

Referensi

Brown, P., & Levinson, S. C. (1987). Politeness: Some universals in language usage. Cambridge University Press.

Martisa, E., Asraf, A., & Aso, L. (2021). Politeness Strategies Performed in Piers Morgan and Donald Trump Interview. Seshiski Southeast Journal of Language and Literary Studies, 1(1), 23-33. https://doi.org/10.53922/seshiski.v1i1.12

Saeed, J. I. (2016). Semantics (4th ed.). Wiley-Blackwell.

Tahira, M. (2024). Exploring On-Record & Off-Record Strategies in Pragmatics of Sialkot Society. Journal of Social Sciences Development, 3(2), 183-196. https://doi.org/10.53664/jssd/03-02-2024-15-183-196

 

Share:

Wednesday, 21 August 2024

Pendekatan terhadap Teks Forensik dalam Studi Linguistik




 

Forensik linguistik adalah cabang ilmu yang mengaplikasikan pengetahuan linguistik dalam konteks hukum. Salah satu fokus utama dalam bidang ini adalah analisis interaksi antara pengacara dan saksi di ruang sidang. Transkrip persidangan dapat memberikan wawasan tentang dinamika kekuasaan, kontrol wacana, dan strategi komunikasi yang digunakan oleh para peserta.

Perbandingan Antara Teks Fiksi dan Nyata

Ada perbedaan yang signifikan antara interaksi fiksi dan nyata dalam konteks hukum. Misalnya, dalam serial komedi "Little Britain," karakter Vicky Pollard menunjukkan perilaku yang menentang norma-norma wacana hukum dengan tidak kooperatif dan mengabaikan otoritas pengacara. Ini sangat berbeda dengan kesaksian seorang teknisi ambulans dalam "The Hutton Inquiry," di mana saksi mengikuti aturan interaksi institusional dengan memberikan jawaban yang relevan, singkat, dan jelas.

Perbedaan ini memperlihatkan bagaimana seharusnya interaksi di ruang sidang dikendalikan oleh pengacara, dengan saksi diharapkan memberikan informasi yang sesuai dengan pertanyaan yang diajukan. Namun, Vicky Pollard melanggar semua norma ini, yang menghasilkan efek komedi dalam konteks fiksi, namun sekaligus menekankan pentingnya konvensi wacana dalam situasi nyata.

Asimetri Kekuasaan dalam Wacana Hukum

Wacana hukum sering kali ditandai dengan ketidakseimbangan kekuasaan, di mana pengacara memiliki kontrol lebih besar atas jalannya interaksi. Hal ini terlihat dari bagaimana pengacara menentukan topik, panjang giliran bicara, dan bahkan bagaimana saksi harus merespons. Dalam situasi ini, saksi harus menavigasi antara kepatuhan terhadap aturan wacana dan menjaga otoritas pribadi mereka.

Saksi yang berprofesi sebagai teknisi ambulans, meskipun memiliki otoritas dalam bidangnya sendiri, tetap menunjukkan kepatuhan terhadap pengacara yang memandu kesaksiannya. Di sisi lain, Tony Blair, sebagai saksi dengan status tinggi, memiliki kebebasan lebih besar dalam mengatur tanggapannya, menunjukkan bagaimana status sosial dan profesional dapat mempengaruhi dinamika wacana di ruang sidang.

Prinsip Kooperatif dan Pelanggaran Maksim Grice

Dalam analisis wacana, Prinsip Kooperatif Grice sering digunakan untuk mengevaluasi seberapa jauh partisipan dalam percakapan mengikuti atau melanggar aturan-aturan dasar komunikasi. Karakter Vicky Pollard secara terang-terangan melanggar maksim-maksim ini, seperti relevansi dan kualitas, yang menyebabkan pengacara kehilangan kontrol atas interaksi.

Sebaliknya, dalam konteks nyata, saksi cenderung mematuhi maksim-maksim tersebut, memberikan jawaban yang sesuai dengan pertanyaan yang diajukan dan menjaga relevansi serta kejelasan dalam tanggapan mereka. Meskipun begitu, ada kalanya saksi dengan status tinggi seperti Tony Blair mungkin secara strategis melanggar maksim ini untuk mempertahankan otoritas atau menghindari pertanyaan yang mengancam.

Kesimpulan

Analisis perbandingan antara interaksi fiksi dan nyata ini menunjukkan kompleksitas wacana hukum dan pentingnya kepatuhan terhadap aturan interaksi dalam mencapai tujuan hukum. Meskipun humor dalam teks fiksi seperti "Little Britain" bisa menghibur dengan memparodikan norma-norma ini, interaksi nyata menunjukkan betapa pentingnya mematuhi konvensi wacana dalam mencapai keadilan dan kebenaran di ruang sidang.



Note:

Tulisan ini merupakan saduran dari Chapter I: Approaching a Forensic Text dalam buku An Introduction to Forensic Linguistics: Language in Evidence karya Malcom Coulthard dan Alison Johnson.


Share:

Tuesday, 18 June 2024

Analisis Tindak Tutur pada Salinan Berita Acara Pemeriksaan Polisi


Pendahuluan

Dalam proses penyidikan, Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Polisi menjadi salah satu tahapan penting yang dilakukan oleh penyidik. Tahapan ini meliputi pemanggilan saksi, penyitaan barang bukti, gelar penetapan tersangka, hingga pelimpahan berkas perkara (Seto, 2024). BAP juga dapat menjadi alat bukti dalam persidangan, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan saksi-saksi yang telah diperiksa oleh penyidik (Tabah, 2021).

BAP adalah dokumen yang merekam pernyataan dan kesaksian individu, baik sebagai tersangka, saksi, maupun ahli yang terlibat dalam sebuah kasus (Kumparan, 2022). BAP memiliki peranan penting dalam menentukan kredibilitas individu yang terlibat dalam proses hukum ini. Bahasa yang digunakan dalam BAP harus akurat untuk memastikan validitas dan keandalan informasi yang disajikan.

Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis tindak tutur dalam BAP Ahli Bahasa terkait, kasus dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan penyalahgunaan kekuasaan dan penerimaan gratifikasi di lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan. Dalam salinan BAP Polisi terkait perkara dugaan tindak pidana korupsi ini dijelaskan bahwa Polisi meminta keterangan ahli di bidang bahasa dan sastra Indonesia, dengan spesialisasi di bidang linguistik forensik.

Teori tindak tutur digunakan karena memungkinkan untuk mengidentifikasi tuturan yang terkandung dalam BAP Ahli Bahasa terkait kasus korupsi tersebut, karena tindak tutur ini tidak hanya menyampaikan makna, tetapi juga melakukan sesuatu (Austin, 1962). Dalam kajian linguistik pragmatik, tindak tutur dibagi menjadi tiga komponen utama, yaitu lokusi (apa yang diucapkan), illokusi (maksud dari apa yang diucapkan), dan perlokusi (dampak yang diharapkan dari apa yang diucapkan) (Barus & Ludji, 2022).

Searle (1969) memperluas teori tindak tutur yang dikembangkan oleh Austin dengan mengklasifikasikan tindak ilokusi menjadi lima kategori. Klasifikasi ini mencakup directives (perintah), expressives (ungkapan perasaan), representatives (pernyataan fakta), commissives (janji), and declarations (pernyataan yang mengubah keadaan). Pengklasifikasian ini memberikan kontribusi penting dalam memperluas pemahaman tentang berbagai jenis tindak tutur yang dapat dilakukan melalui bahasa (Shopia et al., 2019).

Analisis Tindak Tutur Salinan BAP Polisi

Dalam salinan BAP kasus ini, terdapat dua tuturan yang menarik untuk dianalisis yang dituturkan oleh tersangka, yaitu 'Sudah ada belum? Saya butuh cepat dan sudah janji sama orang' dan 'Gara-gara kamu ini, karena gak kasih uang itu, saya jadi tidak bisa sekolah dan tidak bisa naik pangkat.'

Pertanyaan 'Sudah ada belum' lebih bersifat sebuah retoris. Tuturan ini dikategorikan sebuah tindak tutur direktif yang digunakan untuk memberikan instruksi, perintah, atau arahan kepada mitra tutur (Kamala & Rohmad, 2022). Dalam hal ini, maksud utama penutur bukan ingin menanyakan kepada mitra tutur apakah uang yang diminta sudah tersedia atau belum, melainkan untuk memaksa mitra tutur agar memberikan uang yang diminta.

Hal ini diperkuat oleh konteks situasi dan tuturan selanjutnya, yaitu 'Saya butuh cepat dan sudah janji sama orang'. Tuturan ini mengindikasikan bahwa penutur membutuhkan uang tersebut dengan segera, dan dia sudah berjanji kepada orang lain untuk memberikannya. Tuturan ini digunakan untuk mendesak dan memberikan tekanan agar mitra tutur memenuhi keinginannya. Tindak tutur direktif bekerja dengan cara mendorong pendengar melakukan tindakan tertentu sesuai dengan keinginan penutur (Saddhono & Kasim, 2016), dan konteks memegang peranan kunci dalam membentuk tindak tutur direktif tersebut (Sartika & Irawan, 2021). Ujaran "Sudah belum? Saya butuh cepat dan sudah janji sama orang" berpotensi memberikan dampak negatif kepada mitra tutur. Tekanan dan desakan yang terkandung dalam ujaran tersebut membuat mitra tutur merasa tertekan dan tidak nyaman.

Tuturan selanjutnya juga memperkuat bahwa adanya paksaan dan manipulasi oleh penutur kepada mitra tutur. Tuturan "Gara-gara kamu ini, karena gak kasih uang itu, saya jadi tidak bisa sekolah dan tidak bisa naik pangkat" dapat memanipulasi mitra tutur dengan rasa takut dan bersalah. Rasa bersalah dan tekanan yang ditanamkan oleh penutur dapat membuatnya merasa terbebani. Hal ini dapat mendorong mitra tutur untuk menuruti permintaan penutur, meskipun mungkin mitra tutur tidak ingin melakukannya, seperti yang disampaikan dalam BAP bahwa mitra tutur menyatakan ketidakberaniannya menolak permintaan tersebut. Selain itu, posisi penutur yang merupakan kepala Balai juga memiliki ‘kuasa’ yang besar sehingga menambah beban bagi mitra tutur.

Kesimpulan

Dalam kasus ini, penutur menggunakan rasa takut dan rasa bersalah untuk memanipulasi dan memaksa mitra tutur agar memenuhi keinginannya melalui tindak tutur direktif. Tindak tutur direktif dapat digunakan untuk mempengaruhi perilaku lawan bicara dengan menetapkan konsekuensi berdasarkan tindakan mereka (Beller, 2019). Selain itu tindak tutur direktif juga dapat berfungsi sebagai alat untuk memerintah, meminta, mengajak, dan menasihati (Ningsih & Muristyani, 2021).

Referensi

Austin, J. L. (1962). How to Do Things with Words. Oxford University Press.

Barus, A. M. B., & Ludji, I. (2022). Tinjauan Teori Tindak Tutur Terhadap Dampak Khotbah Radio Gereja Kristen Muria Indonesia Perjanjian-Nya, Kabanjahe Di Tengah Pandemi Covid-19. Integritas Jurnal Teologi. h^ps://doi.org/10.47628/ijt.v4i2.110

Beller, S. (2019). Condi7onal Promises and Threats – Cogni7on and Emo7on. h^ps://doi.org/10.4324/9781315782379-57

Kamala, S. A., & Rohmad, R. (2022). Tindak Tutur Direkef Dalam Surah Az-Zumar (Studi Analisis Pragmaes). Tsaqofiya Jurusan Pendidikan Bahasa Arab Iain Ponorogo. h^ps://doi.org/10.21154/tsaqofiya.v4i2.97

Kumparan. (2022, November 4). Pengerean BAP dan Fungsinya dalam Peradilan Pidana. Kumparan. h^ps://kumparan.com/berita-terkini/pengerean-bap-dan-fungsinya-dalam- peradilan-pidana-1zBSVBDYjy2#

Ningsih, L. W., & Muristyani, S. (2021). Analisis Tindak Tutur Ilokusi Dalam Film Ada Cinta Di Sma Sutradara Patrick Effendy. Tabasa Jurnal Bahasa Sastra Indonesia Dan Pengajarannya. h^ps://doi.org/10.22515/tabasa.v2i2.3685

Saddhono, K., & Kasim, F. (2016). The Form and Funceon of Local Language in Direceve Speech Act at a University in Central Sulawesi. Lingua Cultura. h^ps://doi.org/10.21512/lc.v10i1.848

Sareka, D., & Irawan, A. (2021). Direceve Speech Acts of Harry Po^er, Ronald Weasley, and Hermione Granger in “Harry Po^er and the Philosophers Stone” Movie Script. English Language and Literature. h^ps://doi.org/10.24036/ell.v10i4.114995

Seto, B. (2024). PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN (Studi Pada Kepolisian Resor Mandailing Natal). Jurnal Ilmiah Metadata. h^ps://doi.org/10.47652/metadata.v6i1.478

Shopia, K., Sabila, D., & Sulistyaningrum, S. D. (2019). Speech Acts Analysis of Dr. Peter Senge’s Interview in the Fowler Center’s Roberta Baskin About the Future of Educa7on. h^ps://doi.org/10.2991/icollite-18.2019.17

Tabah, M. J. (2021). Kekuatan Pembukean Berita Acara Pemeriksaan Saksi Sebagai Alat Buke Dalam Persidangan. Syntax Literate Jurnal Ilmiah Indonesia. h^ps://doi.org/10.36418/syntax-literate.v6i2.2240

Share:

Sunday, 12 May 2024

Potensi Kekerasan Seksual di Sekolah: Analisis Sederhana dengan Linguistik Forensik




Pendidikan merupakan ruang aman bagi murid untuk belajar dan berkembang. Namun, dalam beberapa kasus, ruang aman ini ternoda oleh tindakan kekerasan seksual yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, salah satunya guru (Shuy, 2001). Hal ini merupakan ancaman serius terhadap perkembangan murid. Kekerasan seksual di lingkungan pendidikan dapat berdampak traumatis bagi korbannya dan memiliki konsekuensi jangka panjang. Penting untuk melakukan upaya pencegahan dan penanganan yang tepat untuk melindungi murid dari bahaya kekerasan seksual (Stubbs, 2006). Linguistik forensik, sebagai cabang ilmu linguistik yang diterapkan pada penyelidikan hukum, menawarkan alat untuk menganalisis percakapan dan mengidentifikasi potensi pelanggaran seksual. Analisis ini dapat membantu penegak hukum dalam menyelidiki kasus-kasus kekerasan seksual dan memberikan bukti yang kuat di pengadilan.

Percakapan yang dianalisis dalam tulisan ini terjadi antara seorang guru dan murid perempuan. Murid datang ke ruang guru untuk mengkonfirmasi nomor kamarnya saat kegiatan study tour. Guru mengatakan, "Kamu di kamar itu." Namun, murid tersebut keberatan dan protes kepada sang guru, karena teman sekamarnya bukan teman sekelasnya. Dia menginginkan teman sekamarnya merupakan teman sekelasnya. Lalu dijawab oleh sang guru, "Ya udah atuh, kamu di kamar Bapak." Ucapan guru "Ya udah atuh, kamu di kamar Bapak" berpotensi menimbulkan permasalahan.

Ucapan guru "Ya udah atuh, kamu di kamar Bapak" dapat dianalisis menggunakan teori Speech Acts (Searle, 1969 dan Weigand, 2010). Dalam kerangka ini, ucapan tersebut diklasifikasikan sebagai directive, yakni tindakan tutur yang bertujuan untuk membuat pendengar melakukan sesuatu. Secara spesifik, ucapan guru berfungsi sebagai perintah yang menginstruksikan murid untuk tinggal di kamarnya. Inten atau niat di balik ucapan ini adalah mengatur pembagian kamar murid, namun konsekuensi yang ditimbulkan adalah murid merasa dipaksa dan tidak memiliki pilihan lain selain menuruti perintah guru. Hal ini dapat dilihat sebagai penyalahgunaan kekuasaan yang berpotensi menimbulkan ketidaknyamanan dan rasa terancam bagi murid.

Lain halnya dengan analisis pragmatik yang mempertimbangkan konteks pembicaraan dan pengetahuan bersama antara penutur dan lawan bicara (Levinson, 1983). Dalam kasus ini, relevansi analisis pragmatik terletak pada posisi guru sebagai figur otoritas dan murid sebagai pihak yang rentan. Meskipun tuturan guru ini tidak mengandung unsur seksual, murid bisa menginterpretasikan tuturan ini sebagai ancaman atau rayuan karena ada perbedaan kekuasaan (Ehrlich, 2001).

Namun, jika kita menggunakan interpretasi positif, kita dapat mengatakan bahwa guru mungkin bermaksud membantu murid dengan menawarkan kamarnya sebagai solusi alternatif. Kemungkinan ini diperkuat jika guru memiliki hubungan yang baik dan suportif dengan murid tersebut. Tidak semua murid akan menginterpretasikan tuturan guru sebagai ancaman atau rayuan, tergantung pada konteks dan hubungan antara guru dan murid tersebut. Selain itu, penting untuk memperhatikan bahwa kekuasaan guru dalam konteks pendidikan seharusnya digunakan untuk mendukung dan membimbing murid, bukan untuk menimbulkan ketidaknyamanan.

Catatan:

  • Penting untuk diingat bahwa analisis ini hanya berdasarkan data yang tersedia dan tidak dapat dijadikan kesimpulan definitif. Investigasi menyeluruh dengan mempertimbangkan berbagai sudut pandang dan bukti yang ada diperlukan untuk memastikan kebenaran.
  • Tulisan ini hanya membahas aspek linguistik forensik dari kasus ini. Aspek-aspek lain, seperti psikologis, sosiologis, dan hukum, perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan pemahaman yang menyeluruh tentang situasi tersebut.

Referensi

Brown, P., & Levinson, S.C. (1987). Politeness: Some universals in language usage. Cambridge University Press.

Ehrlich, S. (2001). Representing Rape: Language and Sexual Consent. Routledge.

Levinson, S. C. (1983). Pragmatics. Cambridge University Press.

Searle, J. R. (1969). Speech acts: An essay in the philosophy of language. Cambridge University Press.

Shuy, A. (2001). Linguistics and the law: Research and applications. Routledge.

Stubbs, M. (2006). Discourse analysis: New critical approaches. Routledge.

Weigand, E. (2010). Language as dialogue: From rules to principles. John Benjamins Publishing Company.

Share:

Thursday, 28 March 2024

Fonem dan Artikulasi dalam Bahasa Indonesia




Bahasa Indonesia, seperti banyak bahasa lainnya, memiliki sistem fonem yang kompleks dan menarik. Salah satu aspek yang paling menonjol adalah penggunaan prefiks ‘meN-’, yang menunjukkan perubahan fonem berdasarkan konteksnya. Dalam kata-kata seperti ‘membantu’, ‘mendulang’, ‘menggunung’, ‘memakan’, dan ‘mengebor’, kita melihat bahwa bunyi nasal dalam prefiks ini sebenarnya terdiri atas satu fonem /n/. Namun, fonem ini mengalami perubahan sesuai dengan huruf konsonan pertama pada kata dasar yang mengikuti prefiks ‘meN-’ tersebut. Ini adalah contoh dari fenomena linguistik yang dikenal sebagai asimilasi, di mana suatu fonem berubah untuk lebih mirip dengan fonem yang berdekatan.

Dalam fonetik, titik artikulasi merujuk ke tempat di mana hambatan aliran udara terjadi dalam rongga mulut saat menghasilkan bunyi. Namun, bunyi vokal tidak memiliki titik artikulasi. Alasannya adalah bahwa ketika diproduksi, bunyi vokal tidak mengalami hambatan dari alat ucap. Ini berarti bahwa aliran udara dari paru-paru ke mulut tidak terhambat saat mengucapkan vokal. Namun, bunyi konsonan memiliki berbagai titik artikulasi yang dapat memengaruhi cara mereka diucapkan. Misalnya, bunyi /p/, seperti dalam kata "pulang", dihasilkan dengan menutup bibir bagian depan dengan kuat dan melepaskan udara berkekuatan saat bibir terbuka kembali. Bunyi /m/, yang juga merupakan konsonan, memiliki titik artikulasi di bibir bagian atas. 

Prinsip sonoritas juga berlaku dalam bahasa Indonesia. Prinsip ini adalah kecenderungan pola dalam pengaturan internal kluster konsonan, di mana konsonan yang paling tidak sonor (kurang berbunyi) berada paling jauh dari inti suku kata. Misalnya, dalam suku kata “str” dalam kata “struktur”, “s” adalah konsonan yang paling tidak sonor dan berada paling jauh dari inti suku kata (yaitu, vokal atau suara paling sonor), diikuti oleh “t”, dan “r” adalah yang paling sonor dan paling dekat dengan inti suku kata. 

Pada konsep gugus konsonan atau kluster, bahasa Indonesia memiliki gugus konsonan yang merupakan deretan dua konsonan atau lebih yang terletak pada satu suku kata yang sama. Contohnya adalah kata ‘strategi’, yang terdiri atas tiga suku kata: ‘stra-te-gi’. Pada suku kata pertama, terdapat gugus konsonan [str]. Namun, penting untuk dicatat bahwa tidak semua kombinasi konsonan dapat dikatakan gugus konsonan jika tidak terdapat dalam suku kata yang sama. Misalnya kata mantap. Kombinasi konsonan [nt] tidak dapat dikatakan gugus konsonan karena kata tersebut terdiri atas suku kata ‘man’ dan ‘tap’. 

Secara keseluruhan, bahasa Indonesia menunjukkan berbagai fenomena fonetik dan fonologis yang menarik, yang mencerminkan kompleksitas dan kekayaan bahasa ini. 

 

 

Referensi

Velupillai, V. (2012, July 31). An Introduction to Linguistic Typology. https://doi.org/https://doi.org/10.1075/z.176

Share:

Tuesday, 9 January 2024

Best Hindi Movies: My Opinion


 

Weekend kemaren punya cukup waktu yang panjang di rumah. Alhasil, dengan waktu lumayan panjang, saya sempatin deh nonton film. Pilihan film-film yang saya tonton cukup menarik: film India. Bollywood, acha acha... Hahaha...

Klu dibilang sebagai penggemar film India, engga juga. Tapi saya sudah tonton beberapa judul film India, dan cukup bagus, menurut saya. Temanya memang umumnya tentang cinta, tapi tidak semuanya dalam konotasi romansa. Ada cinta anak pada orang tuanya, cinta pada sesama, bahkan ada yang menggambarkan kecintaan kepada identitas seperti agama, suku dan bangsa. Beragam.

Film India pertama yang saya tonton secara menyegaja adalah Kuch-Kuch Hota Hai. Lejen banget ya. Saya masih SMA kelas satu saat Film itu booming. Teman kelas saya, cewek tentunya, memaksa saya untuk menonton film tersebut, karena bagus katanya. Akhirnya, saya dan beberapa orang teman nobar di rumah teman cewek tersebut. 

Bagus. Berbeda. Cukup menarik. Begitu kesan pertama saya setelah menonton Kuch-Kuch Hota Hai. Setelah film tersebut, hingga saat ini saya sudah tonton beberapa film India. Ga terlalu banyak juga, tapi lumayan lah. Mayoritas memang diperankan oleh Shahrukh Khan. 

Nah, dari beberapa film yang sudah saya tonton, berikut tujuh film India terbaik versi saya. Tujuh saja, karena referensi saya juga ga banyak dan saya suka angka tujuh. Hehehe. Saya urut dari nomor tujuh ya.

7. Hichki


Film ini dirilis tahun 2018, tapi saya baru tonton kemaren, pas libur panjang. Hehehe. Film ini dibintangi oleh Rani Mukherji, pemeran Tina di film Kuch Kuch Hota Hai. Sebenarnya ceritanya banyak kita temui di film-film lain sih. Ada guru baru, terus harus mengajar anak-anak "bermasalah" dalam satu kelas. Gurunya dijaili tapi tetap tegar. Lalu karena saking bermasalahnya, mereka mau dikeluarkan oleh pihak sekolah. Sang guru baru ingin mempertahankan anak-anak tersebut, guru lain menentang, namun akhirnya Guru baru berhasil membuat mereka "tidak bermasalah" lagi, dan akhirnya bisa membuat bangga sekolah karena prestasi mereka. Banyak kan ya film seperti itu. Hal yang menarik adalah sang guru, Naina Mathur, mengidap Tourette Syndrome. Sebuah penyakit yang membuat penderitanya melakukan gerakan atau ucapan yang berulang tanpa disengaja dan di luar kendali.  Nah di film ini sang pemeran utamanya selalu cegukan, hichki-bahasa Hindi yang dalam bahasa Indonesia berarti cegukan.

Menurut riviunya, film ini diproduksi dengan bajet yang tidak terlalu besar namun mampu menghasilkan keuntungan yang sangat tinggi. Di tahun rilisnya, film ini merupakan salah satu film India dengan pendapatan tertinggi, bahkan filim ini merupakan salah satu film India dengan pendapatan tertinggi sepanjang masa untuk kategori protagonis yang diperankan oleh perempuan. Wow.

6. Kabhi Khusi Khabie Gham


It's all about loving your parents. Begitu tagline dari film ini. Kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia, kira-kira terjemahan dari judulnya adalah 'kadang suka kadang duka'. Seperti cerita di filmnya yang bergantian antara suka dan duka. Secara umum, film ini menggambarkan cinta dalam keluarga. Cinta orang tua pada anaknya, cinta adik pada kakaknya, dan juga cinta akan tradisi.

Film ini merupakan satu dari beberapa kombinasi antara Sharukh Khan dan Kajol. Juga kombinasi antara Rahul dan Anjali. Menurut saya, Rahul dan Anjali begitu iconic. Sudah seperti Romeo dan Juliet, Samson dan Delilah, Rangga dan Cinta. Selain SRK dan Kajol, film ini juga menghadirkan Amitabh Bachchan dan istrinya Jaya Bachchan. Amitabh adalah Superhero-nya perfilman India. Sudah seperti Rhoma Irama di dunia Dangdut. Muncul juga Rani Mukherji, sebagai pelengkap segitiga Rahul dan Anjali seperti di film Kuch Kuch Hota Hai.

5. Kuch-Kuch Hota Hai


Hmmm...film ini. Di Indonesia sangat terkenal, bahkan hingga saat ini. Bahkan Shahrukh Khan pernah diundang hanya untuk lip sync lagu-lagu di film ini. Ada begitu banyak gubahan dan parodi lagu-lagu di film ini. Seperti yang saya bilang sebelumnya, ini adalah film India pertama yang saya tonton dengan menyengaja dan emang berniat untuk menonton sebuah film India, dari awal sampai habis. Sebelumnya, saya tentunya sudah pernah nonton film India, tapi di TV, dan sering kali bosan dan tidak selesai, karena memang bukan penggemar. Namun setelah menonton film ini, daftar film India yang sudah saya tonton jadi banyak. Lumayanlah lebih dari sepuluh. Hehehe...

Saya mungkin tak perlu cerita filmnya tentang apa, banyak orang sudah tahu tentang kisah cinta Rahul-Tina dilanjut dengan Rahul-Anjali. Tapi buat saya, yang paling berkesan dari film ini adalah siulan khasnya Rahul, dan cara tos-nya Rahul dengan Anjali. Sampai-sampai saya pernah mepraktekkannya dengan seorang teman ketika SMA dulu. Sekarang pun, saya mengajak anak perempuan saya untuk melakukan tos seperti itu. Dulu dia mau, sekarang udah engga. Ga tau kenapa 😁.

Satu lagi, menurut saya, "your best friend is your best lover". Jadi, mari berteman?

4. Slumdog Millionaire


Ini film India bukan sih? Setting dan pemerannya memang dari India, tapi klu kata wikipedia, ini adalah film Inggris. Sutradara, produser, dan Rumah Produksinya memang bukan dari India. Hmm..jadi masuk list ga ya. Serunya cerita ini karena seorang janitor di sebuah perusahaan telekomunikasi berhasil masuk sebagai peserta Who Wants To Be A Millionnaire versi India. Hebatnya, dia berhasil menjawab seluruh pertanyaan dan mendapatkan hadiah utama. Namun sebelum sampai ke pertanyaan terakhir, Jamal, nama pemeran utamanya, disiksa oleh Polisi karena dicurigai melakukan kecurangan. 

Film ini disertai dengan sebuah "kebetulan" yang terus menerus dimana setiap jawaban pertanyaan kuis, pernah dialami langsung oleh Jamal dalam hidupnya. Dengan alur maju-mundur, kita disajikan bahwa apa pun yang terjadi dalam hidup kita, selalu ada makna di dalamnya, entah kita sadari atau tidak.

Pertanyaannya, klu orang biasa-biasa terus dapat hadiah sebegitu banyak, kira-kira bakal ngapain ya? hehehe... Bakal banyak yang datang pinjem uang kayaknya ya. Hehe.. 

3. Pad Man


Selain Hichki, film ini juga baru saya tonton dan menurut saya film ini sangat bagus dan menarik. Klu dari judulnya, seperti film superhero ya. Tapi mungkin film ini bisa juga dikategorikan sebagai film Superhero sih, superheronya istri. Hehe. As the name suggest, the movie is about Pad. Sanitary pad to be exact. Yup. Pembalut.

Film ini menceritakan bagaimana perjuangan seorang suami untuk melakukan apa saja untuk membuat istrinya bahagia. Bagaimana sebuah niat baik berlawanan dengan tradisi. Tradisi akan ketabuan mengenai haid jika dibahas oleh kaum Pria. Di sisi lain, film ini juga memperlihatkan bagaimana tanpa edukasi formal yang cukup, Laxmi, nama tokoh utamanya, mampu menjadi inspirasi dengan kemampuan teknik yang ia miliki sehingga akhirnya dia memperoleh Padma Shri, salah satu penghargaan tertinggi yang diberikan pemerintah kepada masyarakat sipil.

Cerita film ini terinspirasi dari kisah nyata seorang sosial-entrepreneur dari Tamil-Nadu yang mampu menciptakan mesin pembuat pembalut sehingga harga pembalut menjadi sangat terjangkau di India, serta perannya dalam kampanye dalam meningkatkan kesadaran warga agar menjauhi praktik yang tidak higienis dalam menghadapi menstruasi.

2. 3 Idiots

Nah, ini sebuah film yang unik, lucu, dan cukup seru. Alur ceritanya maju mundur dan tokoh utamanya diceritakan dari sudut pandang orang lain. Lalu? ya lalu klu mau tau ceritanya, tonton saja. Atau baca di Wikipedia juga cukup. Hehehe. Tapi satu yang pasti, saya suka bagian endingnya. Plot twist.

Hal yang membuat saya terkesan adalah bagaimana seorang begitu ingin mendapatkan ilmu tanpa memperdulikan "cara"nya. Film ini juga memberikan kita inspirasi bahwa dengan pintar saja tidak cukup, tapi juga harus deilengkapi dengan nurani sehingga kita tidak menjadi Robot. 

All is Well.

1. My Name is Khan


Oke, secara rendapatan 3 Idiots jauh melebihi film ini, tapi saya sedikit memberikan kredit lebih untuk My Name is Khan. Film yang sarat pesan moral pasca tragedi 11 September. Tragedi teroris terbesar, dan Islam "dijadikan" tersangka. My Name is Khan and I am not a Terrorist. Begitu kalimat yang diucapkan Rizvan Khan saat ditanya namanya.

Selain pengulangan romantisme Shahrukh Khan dan Kajol, film ini juga menampilkan sisi menarik "cara hidup" seseorang penderita Asperger Syndrome, yang dimainkan dengan sangat baik oleh King Khan. Secara ringkas, Anda akan disuguhkan tentang Kisah Cinta, Islam, dan Autism dalam film ini.

So, itulah film India yang terbaik menurut saya. Dari sedikit referensi tentang film India yang saya punya, itulah tujuh terbaik. Diawali oleh seorang penderita sebuah penyakit, dan ditutup oleh sebuah cerita yang tokohnya juga menderita sebuah penyakit.

Film India, atau Bollywood, terlepas dari tarian dan nyanyiannya, juga sangat menarik klu dilihat dari alur ceritanya. Tak kalah dengan film atau Drama Korea yang kini marak. Bahkan "film India" ada juga yang produksi Hollywood.  

Pada akhirnya, apa pun genre film atau asal film yang Anda sukai, tidak jadi masalah karena menonton film yang tepat tidak hanya membuat Anda terhibur, tapi dapat juga menambah wawasan baik itu bahasa, budaya, sejarah, teknologi, dan lain lain.

Acha.


Share:

Friday, 24 November 2023

Mencoba Kereta Panoramic



Sekarang-sekarang ini, PT KAI memang sedang gencar melakukan perubahan di armadanya. Selain Sekarang kelas ekonomi, bisnis, dan eksekutif, sekarang ada kereta api kelas Suite, Luxury, Prioritas, dan juga Panoramic. Semuanya dibuat tentu untuk kenyamanan penumpang dan bisa disesuaikan dengan budget.

Nah, kemaren saya berkesempatan mencoba salah satu kelas yang berbeda dari biasanya–biasanya kan cuma bisa mentok di kelas eksekutif ya, eh alhamdulillah bisa eksekutif juga. Perjalanan dari Yogyakarta ke Bandung sangat padat sekali. Waktu berangkat pun dapat tiketnya susah. Pulang pun begitu.

Karena tiket kelas eksekutif habis, jadi saya putuskan untuk mencoba kelas Panoramic. Pengen ngerasain gimana naik kereta yang katanya, menurut beberapa riviu, bisa memperoleh pandangan yang lebih luas, ya iyalah, namanya juga panoramik.

Untuk harga, memang beda jauh ya dengan kelas eksekutif, dua kali lipat. Harga tiket kelas eksekutif itu dari rentang Rp470.000 - Rp595.000 sedangkan kereta Panoramik dibanderol dengan harga Rp1000.000. Ini untuk kereta Argo Wilis ya. Untuk eksekutif Turangga, Lodaya, dan Mutiara Selatan tentu lebih murah lagi. Tapi dengan harga tersebut sudah termasuk beberapa pelayanan ekstra yang tidak didapat di kelas lain (Eksekutif, Bisnis, Ekonomi). Misalnya, untuk ruang tunggu, kita disediakan lounge eksekutif. Selain ruangannya cukup nyaman, juga terdapat makanan dan minuman yang bisa kita nikmati sambil menunggu kedatangan kereta. Kemaren disediakan jajanan pasar, cemilan, dan Indomie goreng ektra kecap. Karena di Yogya kali ya... hehehe. Tapi lumayanlah.


Kemudian, untuk layanan di dalam kereta, setelah semua penumbang boarding, dan kereta berjalan, kita disuguhi minuman hangat; ada teh, kopi, dan coklat. Kemudian juga diberikan satu kotak kudapan, yang berisi dua buah roti, pastry sih lebih tepatnya. Oya, kita juga dikasih air mineral ukuran kecil dan Hydro Coco. Lumayan juga ya.

Sekitar satu jam perjalanan, kita disajikan makan siang. Makan siangnya lumayan enak. Menunya cukup menggugah selera. Ada telur gulai, capcai, daging (ga tau namanya dimasak apa), perkedel kentag, goreng tahu, sambal, dan tentu saja kerupuk. Enak. Nasinya dibungkus pake daun, dan asapnya sampai mengepul. Kata orang Sunda mah, ditimbel. Oya, di gerbong panoramik ini terdapat dua orang pramugari yang melayani kebutuhan para penumpang. Untuk minuman hangat, sepertinya kita masih bisa minta lagi ya. Saya lihat ketika sore hari, ada beberapa penumpang yang minta minuman hangat, entah kopi, teh, atau pun coklat. Ada juga yang meminta tambahan air mineral, dan itu tidak dipungut biaya tambahan. Gokil emang.

Untuk fasilitas hampir mirip ya dengan kereta eksekutif biasa. Hanya tidak ada meja kecil yang menempel ke dinding kereta. Mungkin karena kacanya yang luas sehingga meja kecil tersebut terpaksa ditiadakan. Jadinya untuk gelas kopi, kita harus keluarkan meja yang ada di kursi masing-masing. Kemudian, awalnya saya tidak menemukan colokan listrik. Ada sih tulisannya di bawah, di bagian sandaran kaki, tapi agak bingung nyarinya. Ternyata letaknya di bawah jok sendiri, bukan di bawah sandaran kaki, seperti di stikernya. Bagusnya, di setiap kursi, ada dua colokan. Jadi bisa ngecas ponsel sekaligus ngecas laptop.



Untuk kamar mandinya, terpisah ya dari gerbong lain. Sayang, saya gak sempat mengambil gambarnya. Kamar mandinya luas dan bersih. Ada petugas yang standby di depan kamar mandi untuk mengeringkan dan membersihkannya setelah dipakai oleh penumpang. Jadi cukup nyaman ya. Oya, karena berangkatnya siang, pasti pada mikir, bakalan panas, karena banyak sinar matahari yang masuk. Awalnya juga saya berpikiran begitu, namun nyatanya di dalam gerbong cukup nyaman dan makin lama malah makin dingin suhunya. Tapi mungkin agak silau ya, ya beberapa spot memang ada yang kena cahaya matahari berlebih. Tapi, beberapa saat setelah jalan, bagin panoramic roof-nya, ditutup sehingga jadi lebih adem.

Menurut saya, dengan kereta tipe panoramik ini cukup memanjakan mata ya. Apalagi perjalanan dari Yogya menuju Bandung banyak ditempuh melalui persawahan yang hijau. Kemudian, begitu memasuki wilayah Jawa Barat, kita akan masuk ke daerah pegunungan dengan pemandangan alam yang rancak bana. Dengan adanya tipe panoramik ini, kita lebih leluasa untuk melihat pemandangan tersebut. Meskipun, dengan kereta biasa, kita tetap akan melihat pemandangan tersebut, ya tapi klu Anda punya dana lebih dan ingin menikmati pelayanan yang lebih juga serta pemandangan yang leluasa, mencoba kelas Panoramic ini cukup memuaskan.

Namun ada satu hal yang menarik. Begitu sampai di Bandung, dan melihat kereta ini secara keseluruhan, saya jadi berpikir, ternyata selama enam jam tadi, saya duduk di dalam akuarium besar ya. Hehehe. Ya karena baru bisa memperhatikannya pas sudah turun. Pas tadi naik, kan ga sempat karena terburu-buru. Apa pun itu, terobosan yang dilakukan oleh PT KAI ini patu diajungi jempol. Keren. Nanti mungkin kita coba kelas Luxury? atau Suites? atau kita sewa gerbong wisata sekalian?

 



Share:

c'est moi

Member of

1minggu1cerita