Saat ini, dinamika politik di Indonesia sedang hangat-hangatnya. Hal ini dipicu oleh serangkaian agenda politik tanah air yang memang cukup padat. Setelah awal tahun ini berbagai media dipenuhi oleh isu pemilihan presiden (pilpres), sekarang isunya bergeser ke arah pemilihan kepala daerah (pilkada) dengan berbagai isu turunan dari isu pilpres. Fenomena ini tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi dunia pemberitaan, terutama program-program yang bersifat talkshow di televisi. Berbagai macam talkshow muncul dengan berbagai topik pembahasan. Sebagian besar topik tersebut seputaran keluarga presiden Joko Widodo. Hal tersebut tentu sangat wajar karena berbagai macam kontroversi yang menyelimuti keluarga presiden akhir-akhir ini. Mulai dari isu politik dinasti, isu akun media sosial ‘fufufafa’, isu gratifikasi yang dituduhkan kepada anak bungsu dan menantu presiden, dan juga berbagai isu turut campur presiden dalam pilkada, atau lebih luas dikenal dengan istilah ‘cawe-cawe presiden’, terutama pilkada Daerah Khusus Jakarta.
Hal yang terakhir ini cukup menyita perhatian publik hingga beberapa program televisi dan siniar mengangkat tema ini. Salah satu program televisi yang mengangkat tema tersebut adalah program Rakyat Bersuara yang disiarkan oleh iNews TV, dengan tema ‘Banyak Drama Jelang Pilkada, Kenapa?’ yang disiarkan pada tanggal 4 September 2024 yang lalu. Dalam program yang dipandu oleh Aiman Wijaksono tersebut menghadirkan beberapa narasumber, di antaranya adalah relawan Anies, Geisz Chalifah; polisi PDIP, Chico Hakim; pengamat politik dan juga akademisi, Rocky Gerung, ketua umum Prabowo dan Jokowi Mania, Emanuel Ebenezer; juru bicara PKS, Ahmad Fahtul Bahri; dan ketua umum Solidaritas Merah Putih, Silfester Matutina. Dalam durasi program sekitar dua jam tersebut, tentu yang menjadi perhatian adalah perdebatan antara Rocky Gerung dengan Silfester Matutina.
Perdebatan tersebut berlangsung panas dan seru. Tentu hal ini sangat menarik apabila interaksi tersebut kita analisis dari sudut pandang linguistik, khususnya bagaimana strategi kesantunan (politeness strategy) dan juga efek perlokusi dari ujaran-ujaran mereka. Dalam debat tersebut tentu terdapat berbagai macam strategi yang digunakan oleh keduanya. Bagaimana kata-kata dan frasa dipilih untuk menunjukkan posisi mereka baik secara politis maupun sosial. Selain itu, tentunya ujaran yang digunakan digunakan sedemikian rupa untuk memanipulasi, mendikte, memprovokasi, dan juga mengendalikan kekuasaan dalam komunikasi. Jika dihubungkan dengan teori semantik kognitif yang dikembangkan oleh John Saeed, tentu kita juga bisa menganalisis beberapa aspek seperti metafora dan metonimi yang digunakan. Dalam hal ini, penggunaan bahasa selama debat ini juga bukan hanya mencerminkan realitas kognitif mereka, tetapi juga dapat mempengaruhi persepsi publik.
Setidaknya ada dua ungkapan yang menarik dari masing-masing Silfester Matutina dan Rocky Gerung dalam debat ini. Ungkapan Silfester “bujang lapuk” dan “pecundang” yang ditujukan kepada Rocky Gerung merupakan sebuah ujaran yang menyerang dan meremehkan status sosial Rocky Gerung. Dalam budaya Indonesia, status lajang dalam usia lanjut seringkali dinilai sesuatu yang negatif. Tentu hal ini dapat kita katakan bahwa Silfester menyerang ‘wajah positif’ Rocky Gerung sehingga ujaran ini berpotensi mengurangi nilai sosialnya di mata publik (Brown & Levinson, 1987). Pun begitu dengan kata ‘pecundang’ yang merupakan ungkapan untuk menyatakan seseorang yang gagal dalam mencapai sesuatu. Pelanggaran wajah positif dapat menyebabkan konflik dalam hubungan interpersonal. Ketika individu merasa bahwa citra positif mereka terancam, mereka mungkin merespons dengan defensif atau agresif, yang dapat memperburuk situasi (Tahira, 2024).
Hal ini terlihat dari apa dilakukan oleh Rocky Gerung kemudian, yaitu dengan melakukan ‘serangan balik’ terhadap Silfester. Rocky sering kali menggunakan strategi kesantunan negatif dengan menggunakan pertanyaan retoris terhadap lawan bicaranya. Beberapa kali Rocky menanyakan sebuah konsep kepada Silfester dan Silfester seperti tidak bisa menjawabnya. Sehingga Rocky menyatakan “Ya bagaimana saya mau terangin kalau dia sedungu ini” dan “Kenapa youbodoh dengan prinsip itu.” Tentu, tindak tutur ini merupakan tindak tutur yang agresif dan menyerang. Kata ‘bodoh’ dan ‘dungu’ merupakan ungkapan yang menggambarkan bahwa Silfester tidak memiliki kemampuan intelektual dan kognitif untuk memahami apa yang disampaikan Rocky. Hal ini juga menyerang ‘wajah positif’ Silfester. Pelanggaran wajah positif dapat menyebabkan dampak emosional yang signifikan bagi individu yang terlibat. Rasa malu, frustrasi, atau kemarahan dapat muncul sebagai respons terhadap tindakan yang mengancam citra positif mereka (Martisa et al., 2021). Hal ini terlihat dengan betapa emosionalnya Silfester sehingga mengeluarkan kata-kata umpatan dan terlihat juga gerakan agresif seperti ingin menyerang Rocky Gerung secara fisik.
Sementara itu, dari segi semantik kognitif, frasa ‘bujang lapuk’ merupakan metafora konseptual yang umum, di mana kehidupan digambarkan sebagai sebuah perjalanan dengan tahap-tahap yang harus dilalui, seperti menikah. Ketika seseorang gagal mencapai titik tersebut dalam kurun waktu tertentu maka akan mendapat stigma negatif oleh Masyarakat (Saeed, 2016). Sementara itu, ungkapan Rocky Gerung jika ditelisik dari segi semantik kognitif dapat dimaknai bahwa Rocky merasa Silfester gagal dalam memahami konsep yang diajukan dan secara tidak langsung menggambarkan bahwa dia tidak kompeten. Kata ‘bodoh’ dan ‘dungu’ merupakan framing negatif yang memperkuat persepsi tersebut.
Dari dinamika interaksi di atas, dapat kita lihat bahwa perdebatan yang terjadi tidak hanya karena perbedaan pandangan ideologis tetapi juga sudah menyerang ranah pribadi. Pelanggaran kesantunan yang digunakan oleh keduanya merupakan strategi defensif dalam menghadapi perdebatan argumentatif tersebut. Namun, hal ini tentu membuat debat menjadi kurang berkualitas karena menggeser isu substantif ke serangan pribadi. Sebagai sebuah tontonan, debat tersebut mungkin cukup menarik, akan tetapi sisi edukasinya menjadi hilang. Apalagi debat ini ditayangkan secara langsung di kanal publik dan di waktu siar utama.
Referensi
Brown, P., & Levinson, S. C. (1987). Politeness: Some universals in language usage. Cambridge University Press.
Martisa, E., Asraf, A., & Aso, L. (2021). Politeness Strategies Performed in Piers Morgan and Donald Trump Interview. Seshiski Southeast Journal of Language and Literary Studies, 1(1), 23-33. https://doi.org/10.53922/seshiski.v1i1.12
Saeed, J. I. (2016). Semantics (4th ed.). Wiley-Blackwell.
Tahira, M. (2024). Exploring On-Record & Off-Record Strategies in Pragmatics of Sialkot Society. Journal of Social Sciences Development, 3(2), 183-196. https://doi.org/10.53664/jssd/03-02-2024-15-183-196
0 Comments:
Post a Comment