Welcome Benvenuto Assalamualaikum Bienvenue Selamat Datang hua-nyíng-gua-nglín Willkommen Bienvenido Sugeng-Rawuh hwangyong-hamnida Wilujeung-Sumping Welkom Velkommen Aloha Salamaik-Datang Sawasdee

Sunday 30 July 2017

GTO



Di banyak negara maju, biasanya fasilitas umum digunakan dengan cara swalayan entah itu mengisi bahan bakar, bayar parkir, bayar tol, dan lain-lain. Hal ini selain teknologi mereka sudah maju, jumlah SDM mereka pun terbatas dan tingkat literasi mereka pun jauh lebih tinggi.
Nah bicara tingkat literasi, saya punya pengalaman yang agak gimanaaa dengan bayar tol di gerbang tol otomatis. Maksud dari gerbang tol otomatis itu kan agar transaksi di pintu tol berjalan lebih cepat. Nah, entah emang lagi amsyong aja, saya sering malah lebih lambat. Pagi ini misalnya. Karena ada kegiatan di kantor pagi-pagi (Minggu masih masuk kerja 😞), saya agak terburu-buru ke kantor dan menurut inpoh yang palid, Bandung akan macet karena ada lomba marathon internasional. Begitu masuk pintu tol Pasteur, saya antrilah di jalur GTO karena memang masuk tolnya pake e-money. 
Begitu sampe depan pintu tol, udah ada sekitar 4-5 mobil di depan, sementara di gerbang lain masih relatif sepi, tapi karena udah kadung, ya sudahlah, antri saja, toh gakan lama--pikir saya. Ditunggu, kok malah gak gerak... Pas saya lihat, tampaknya ada sesuatu dengan mobil paling depan... supirnya manggil petugas.... lalu tampak terjadi transaksi dengan UANG CASH!!! lah.... trus si petugas balik lagi ke posnya, ngasih uang kembalian, lalu pencet tombol di bagian belakang mesin, palangnya kebuka deh...  lamaaaaaa kan jadinya. Gerbang yang harusnya swalayan dan cepat malah, harus dilayani dan jadi lama. Duh.
Analisis: Mobil depan kayaknya ga punya kartu GTO, trus salah masuk gerbang, trus biar cepat, beli di tempat. Ga punya uang pas, jadi harus ada kembalian... 
Di banyak tempat, dan situasi, masyarakat kita memang jarang banget membaca rambu. Gak semuanya sih, tapi masih banyak ditemukan kejadian seperti ini. Selain tadi pagi, saya beberapa kali juga mengalami kejadian seperti ini. Karena gak punya GTO, si mobil paling depan ga bisa lewat, akhirnya, mobil yang belakangnya terpaksa mundur--termasuk mobil saya dan kejadiannya di pintu tol Cikarang Utama, untuk ngasih jalan agar mobil tersebut bisa ke jalan yang benar. Pernah juga satu ketika, pas mobilnya di depan saya, masih sama, ga punya kartu GTO tapi keluar di gerbang GTO. Karena saya malas mundur, akhirnya saya bilang ke petugas yang datang, saya bayarin deh. Mobil yang depan ternyata ngasih uang cash ke saya--lewat petugas itu.
Padahl, gerbang GTO itu jalurnya ada garis garis berwarna kuning, gerbangnya juga berbeda, juga ada pengumumannya, tapi masih banyak saja yang salah masuk. Ya begitulah. Lihat gerbang yang lain ngantri, dan ini ada yang kosong, nyelonong aja deh....
Semoga nanti ke depannya masyarakat kita terbiasa dengan penggunaan fasilitas umum dengan cara swalayan, jadi bisa menghemat waktu. Semoga. Merdeka!!


gambar dari: http://assets-a2.kompasiana.com/statics/crawl/559f534524a9d508798b4567.jpeg?t=o&v=760
Share:

Sunday 2 July 2017

Mudik Soto





Sudah menjadi tradisi bagi orang Indonesia untuk pulang kampung saat lebaran untuk bersilaturrahim dengan keluarga di kampung halaman. Mudik, ya, biasa kita menyebutnya begitu. Nah, lebaran tahun ini pun, saya dan keluarga juga mudik. Ke Semarang dan Pati. Yup, saya mudik ke keluarga istri. Kebeulan ada acara keluarag besar ayah mertua di Semarang.

Buat saya, ini mudik kali kedua ke Jawa Tengah. Empat tahun yang lalu juga kami sekeluarga juga pulang ke Semarang dan Pati, dengan tujuan yang sama: Acara Keluarga Besar (alm) R. Hartosutarmo, kakeknya istri saya. Namun, yang menjadi perbedaan, pulang tahun ini, kami adalah "tuan rumah" untuk acara keluarga besar tersebut. Jadi, mau ga mau, ya harus pulang dengan segala persiapan dan keribetannya.

Tapi... dibalik keruwetan, tentu ada kesenangan, dan kesenangan yang paling gampang adalah menyenangkan lambung. Apalagi saat lebaran ini. Hmmm.... 

"terbayang sudah aku disana...  turun ke warung, makan yang enak, mengisi perut sampai kenyaaaang".

Hari pertama mudik saya berada di Semarang. Menurut teman saya yang orang Semarang, nama kota ini berasal dari kata Asem dan Arang; daerah yang ditumbuhi pohon asem tapi tumbuhnya jarang (arang). Disini saya menikmati tahu gimbal, soto ayam, dan es campur.

Tahu Gimbal  


Tahu Gimbal khas Semarang

Kuliner pertama yang dicoba pas di Semarang adalah tahu gimbal. Ini makanan mirip-mirip kupat tahu klu di Bandung. Ada tahu, pake bumbu kacang, kol, telor goreng, lalu yang bikinnya Bob Marley... hehe. Tentu saja bukan. Gimbal disini maksudnya udang digoreng pake tepung. Jadi mirip peyek udang. Nah, yang saya coba ini judule Tahu Gimbal Pak Kris. Iseng coba nyari di gugel, eh ada. Mayan terkenal nih. Untuk soto ayam yang ini, sama sama es campurnya di-skip aja ya. Agak kurang seru. Biasa aja. Cerita soto masih berlanjut...
Balada Soto
Setelah di Semarang, perjalanan lanjut ke Pati, Bumi Mina Tani. Duh, maaf, gak sempat mampir ke rumah Pak Ganjar Pranowo ya. Kan Gak Kenal. 😜 Sebelum sampai di Pati, kami berhenti sejenak di Kudus, Kota Kretek, untuk menikmati Soto Kudus. Soto Kudus langganan kami adalah Soto Kudus Pak Sulichan (sila di-search ada juga di GMaps), namun sayang hari itu warungnya tutup, jadi pindah deh ke warung sebelah. Oh ya, lokasinya di pujasera depan alun-alun kota Kudus, itu loh, tempat makan yang parkirnya susah. hehehe. Saya pesan Soto Kerbau. Yup, daging Kerbau a.k.a Kebo atawa Munding. Hmm.. belum pernah coba, kata orang dagingnya "panas". Istri saya pilih pindang ayang, sedangkan mertua makan pindang kerbau. Oh ya, jangan salah dengan kata pindang ya, karena setiap daerah, pindang itu memiliki makna yang berbeda. Nih, penampakannya:

Soto Kerbau
Pindang Ayam


Setelah dicoba, daging Kerbau ya sama saja rasanya dengan daging Sapi. Oya, selain makanan besar, ada add-onsnya juga berupa sate paru dan sate ati-ampela. Enaaaak.


Warungnya Pak Djumadi

Perjalanan lanjut ke Pati, dan gak sempat mampir ke Menara Kudus. Sudah kemaleman. Sampe Pati, langsung menuju hotel. Loh, mudik kok ke hotel? itulah mudik versi keluarga saya. Ya karena gak punya rumah di Pati, dan memang tujuan ke Pati adalah nganter ibu mertua ke tanah kelahirannya. Di kabupaten penghasil Bandeng ini, saya menikmati berbagai makanan dan paling berkesan tentu saja Soto Kemiri. Soto lagi? Ya begitulah makanan khas Jawa Tengah arah Pantura; Soto.
Soto Kemiri

Tapi soto yang ini agak unik, bukan karena isinya kemiri semua ya-nama Kemiri karena berasal dari Desa Kemiri. Yang unik adalah penyajiannya dan tentu rasanya. Nasi soto disajikan dalam mangkok, di tambah kecambah dan suwiran ayam, lalu kuah sotonya dituang ke mangkok, lalu kuahnya ditumpahkan lagi ke dalam dandangnya, lalu dimasukkan lagi ke dalam mangkok. Yup, bolak balik gitu. Mungkin itu yang bikin gurih. Hihihi.
Ayam dijual terpisah!



Gak puas dengan suwiran ayam yang cuma ala kadarnya? Disini rider dari sotonya lebih wah. Ayam ungkep yang bisa dipilih bagiannya sesuka hati. Kepalanya aja, sayap aja, paha aja, punggung aja, ati ampela aja, dan dengan harga yang terjangkau. Ayamnya, ayam kampung muda. Uenak e polll. Joss Gandos! Yang kita nikmati adalah Soto Ayam Kemiri Pak Djumadi, kata Ibu mertua, ini paling enak di Pati. Tapi gak nemu di GMaps...  😁




Selain Soto Kemiri yang jadi menu tiap malam, di Pati juga ada Nasi Gandul, dan juga Kelo Mrico. Sayang kita tidak sempat mencicipi Nasi Gandul karena kita sarapan di Hotel. Eh sarapan di hotel disuguhi soto ayam dan nasi gondul. Lupa. Nah, kalau si Kelo Mrico, yang sebenarnya khas Rembang yang sempat menjadi korban di siang hari oleh kami sekeluarga, eh sama saya dan istri aja, karena yang lain pesen Mangut Kepala Manyung. Kelo Mrico, dari namanya tau dong ini masakan dengan rempah merica, dan rasanya pedes, nyereng, tapi segar sih, ditambah lezatnya daging ikan Manyung.
Kelo Mrico dengan Ikan Manyung


Ikan Manyung ikan apaan ya? kalau hasil gugel, ini ikan sama dengan ikan Jambal Roti. Selesai berkunjung ke rumah sanak famili di Pati, kami pulang menuju Bandung. Tentu saja dengan oleh-oleh aneka makanan keluaran Dua Kelinci. Yup, raksasa perkacangan di negeri ini berasal dari Pati loh, dan saingannya, si Ini Kacangku! juga dari Pati! Wah... Pati hebat *carimukadepanmertua. Di Dua Kelinci, tersedia arena mainan buat anak-anak dan juga tempat istirahat buat para pemudik, karena memang Pati dilalui oleh para pemudik arah Jawa Timur. Berikut momen keluarga di Dua Kelinci.


Funtime di Dua Kelinci

Sambil pulang, kami tidak lupa beli jambu air khas Demak. Cuma kali ini agak mengecewakan. Selain harganya mahal dari biasanya, rasanya kurang manis. Selanjutnya, biasanya kami makan pagi di Semarang, tepatnya di Soto Bangkong. Yup, soto lagi. Namun kali ini, disekip karena masih kenyang--padahal saya pengen. Tapi saya ceritain aja ya, soto Bangkongnya, karena seminggu sebelum lebaran, saya Dinas di Semarang. Soto Bangkong sih sama aja kayak soto lainnya. Isiannya juga bukan Bangkong atau Kodok. Ngeri amat. Sotonya diberi nama soto Bangkong karena pertama buka di Semarang di jalan Bangkong, sotonya sih soto ayam juga. Yang bikin enak adalah kawan makannya: ada sate kerang, sate telur puyuh, sate ati ampela, sate paru, tempe goreng dll. Banyak ya. Dan disanalah serunya, makan sotonya semangkok tapi kawan-kawannya banyak. Cuma dibanding soto Kudus dan soto Kemiri, soto Bangkong ini agak lebih mahal, ya karena di kota kali ya.
Soto Bangkong


Lanjut ke perjalanan pulang ya, karena masih ada satu tempat kuliner yang saya dan keluarga singgahi. Oh ya, sebelum meninggalkan kota Semarang, tentu saja kami mampir di Jalan Pandanaran. Itu loh, nama jalan di kota Semarang, tempat beli oleh-oleh tapi parkirnya susah. Nyaris gak bisa parkir sama sekali. Semrawut! Buat Pak Walikota, klu iya itu dijadikan pusat oleh-oleh khas Semarang, sediakan lahan parkir dong.

Kepiting Comal

Kuliner mudik kali ini ditutup dengan makan kepiting di Comal, Kab. Pemalang. Jadi ceritanya, istri saya pengen makan di tempat ini sejak dia masih gadis, tapi setiap lewat, gak bisa mampir kesana. Dan akhirnya, setelah 20 tahun menanti, istri saya bisa mencicipi kepiting di rumah makan spesialis kepiting ini, yang iklannya ada di sepanjang jalan sejak masih dari Pekalongan. Tau kan khasnya iklan Rumah Makan sepanjang pantura? Yup, contohnya: 30 Km lagi rumah makan Piring Seribu, 10 Km lagi rumah makan Piring Seribu. Kalau sudah lewat, iklannya masih ada trus kita disuruh putar arah! Di rumah makan spesialis kepiting ini, kami pesen Kepiting soka saos Padang. Dan setelah dicoba... Hmmm... Recommended ga ya?? Hehe... Entahlah. Selera orang beda-beda.
Kepting Soka saos Padang
Dan kepiting Comal ini menjadi kuliner penutup mudik kali ini. Semoga kita masih bisa bertemu Ramadhan tahun depan. Aamiin. Taqabbalallahu minna wa minkum. Happy Ied Mubarak everyone.
Share:

c'est moi

Member of

1minggu1cerita