SEBELUM JAMUAN
Dan
Kumulai semuanya dengan hatiku
ku
petik bulir padi dan sayuran terbaik
dari
kebun jiwaku. Kumasak sepenuh rindu
sepenuh
mesra hingga mengepul segala salam
dalam
darah batinku. Maka aku pun datang
pada
mu,menyeduh teh dengan darahku,
menyiapkan
meja perjamuan.
Sudah
kubayangkan perjumpaan kita
dua
langit pengalaman, dua dunia berlainan
membangun
cakrawala di meja makan
tempat
bermacam dunia
bertautan
menjelma bunga.
Tak
kau lihat kesibukanku
tak
kau tahu keletihanku
sendiri
menyiapkan masakan di dapur
namun
sungguh benar tak mampukah
engkau
dengar desirnya yang berdebur?
DALAM PERJAMUAN
Engkau
telah kekenyangan
dengan
makanan lain, menu lain, perjamuan
lain,
kala kau datang ke mejaku
hingga
anatara sungkan dan tak mengerti
kau
pandangi saja segala masakan
yang
terhidang di meja makan.
Sambil
tak putus-putus bersendawa
kau
sentuh juga dengan enggan
satu
dua makanan dan kau muntahkan
lalu
kau tertidur sambil mendengkur
tinggal
aku termangu
sendiri
bagai orang dungu.
Waktu
makan sudah lewat.
Senja
beringut berangkat
ke
jantung malam.
Nasi
dingin, masakan dingin.
Berkesiur
juga suara angin
Sayur
Basi, teh pun basi
Apa
lagi yang mesti ditangisi.
Kala
matahari bersinar di cakrawala
kau
terbangun tiba-tiba
memanggil
segala orang
mencicipi
ini dan mencoba itu
lalu
sebuah ceramah panjang
tentang
bagaimana mestinya masakan
dihidangkan,
juga cara indah menyusun menu
para
pemujamu mengangguk setuju.
Tinggal
aku termangu
Sendiri
bagai orang dungu
SELESPAS JAMUAN
Semua
telah pergi. Di piring tinggal duri
duri
yang menganga. Jejak-jejak kaki
di
lantai dingin. Tumpahan saus
nasi
basi dan tulang-tulang berserakan
di
paru-paruku. Dari jendela
ku
lihat engkau di restoran lain bersendawa tak habis-habisnya.
Di
sebuah pinggan
ku
lihat sepotong ikan bagai diriku
terendam
di kuah yang salah
hingga
rasanya kikuk dan masam di lidah.
Maka
kukemasi diam-diam sisa bumbu
Kulit
bawwang dan pecahan telur
yang
berserak dalam batinku.
Akupun
belajar memasak bagi diriku
Sendiri.
Sekali saja kau sebut kata perjamuan
piring-piring
di nadiku segera berderak pecah
membikin
hatiku luka parah
Agus
R. Sarjono, 2002
*dikutip
dari Musthafa, 2008: 63-65
0 Comments:
Post a Comment