Welcome Benvenuto Assalamualaikum Bienvenue Selamat Datang hua-nyíng-gua-nglín Willkommen Bienvenido Sugeng-Rawuh hwangyong-hamnida Wilujeung-Sumping Welkom Velkommen Aloha Salamaik-Datang Sawasdee

Monday, 20 August 2018

Negeri Di Atas Awan


Pernah melihat tumpukan awan dari atas pesawat? Indah bukan? Nah bagaimana klu kita melihat langsung tumpukan awan tersebut ada di bawah kaki kita? Pasti akan menakjubkan. Indonesia yang diberkahi dengan banyaknya dataran tinggi yang memungkinkan kita bisa berada di "atas" awan. Nah, dataran tinggi Dieng, salah satunya, bisa menjadi tujuan untuk menginjakkan kaki di atas awan. Dieng memang sedang menjadi primadona saat ini. Dataran tinggi yang terletak di dua Kabupaten ini-Banjarnegara dan Wonosobo-memang memiliki banyak titik yang dapat memanjakan mata. 
Saya ingin berbagi pengalaman perjalanan ke Dieng beberapa waktu yang lalu. Saya berangkat dengan seorang teman. Kami berteman, tapi tidak mesra. Teman saja. Klu mesra, geli juga, dia cowok juga soalnya, anaknya juga udah dua. [tapi yang penting kan kasih sayang...] aaahhhh... apa siiiih. Lanjut.

Perjalanan Dieng - Bandung
Perjalanan ke Dieng dari Bandung dapat ditempuh dengan berbagai moda transport. Untuk transportasi umum, kita bisa naik Bis dari terminal Cicaheum, jurusan Bandung - Wonosobo (Wonosobo adalah kota terdekat dari Dieng). Ada perusahaan otobis yang menuju Dieng, yaitu Budiman dan Sinar Jaya. Kalau saya sih merekomendasikan Sinar Jaya. Perjalanan Bandung - Wonosobo tidak akan terasa karena berangkat malam hari, jadi tinggal tidur di Bis. Hehehe.
Perjalanan ke Wonosobo sekitar sembilan jam, berhenti sekitar satu jam untuk istirahat di daerah Banjar [duh... lagi enak tidur dibangunin, buat istirahat katanya! hehehe... #supirbutuhngopiwoy]. Sampe di terminal Mendolo pukul empat pagi disambut dengan dinginnya udara Wonosobo. Brrrrrr.. Meskipun masih gelap, jangan kuatir, terminalnya sudah "hidup". Begitu turun dari Bis, langsung disambut dengan ramah oleh mas-mas yang nanya, "mau kemana mas? Sindoro? Sumbing? Prau? atau hanya ke Dieng?" Yup, di terminal Mendolo anda akan banyak menemui para pendaki yang rata-rata dari Jakarta.

Wonosobo - Dieng
Setelah menghangatkan badan dengan minum teh anget-yang cepat sekali dingin-di terminal, kami melanjutkan perjalanan menuju Dieng dengan menggunakan Ojeg. Ya, sepagi itu angkutan ke Dieng belum ada di terminal, tapi kita harus ke Plaza (begitu orang sana menyebutnya) dimana sudah banyak bis 3/4 yang menunggu. Sebelum berangkat, kami sempatkan dulu shalat subuh di Masjid Kauman. Sebuah masjid lama dengan gaya arsitektur jawa kuno. Jadi berasa di zaman para wali. Lokasi masjid sedikit agak jauh dari Plaza, namun bis menuju Dieng lewat tepat di depan masjid.
Perjalanan Wonosobo - Dieng memakan waktu kurang lebih satu jam dengan hamparan lahan pertanian di kiri-kanan. Gunung Sindoro juga terlihat sangat indah. Dalam perjalanan, ada satu spot yang layak untuk dikunjungi, yaitu Gardu Pandang Tieng. Nah, kebetulan kami berangkat pagi dari Wonosobo, jadi pas ngelewat Gardu Pandang, posisi mataharinya sangat indah, di sebelah Gunung Sindoro. Sayang, kami gak sempat turun dari bis. Lain kali, mungkin. [untuk foto Gardu Pandang Tieng banyak di Google].

Dieng

Sampai di Dieng pukul delapan pagi disambut udara dingin menusuk, kami langsung menuju homestay. Kami tidak melakukan reservasi terlebih dahulu, karena waktu itu bukan high season. Kami menginap di homestay Bu Djono. Memilih disini karena hasil ulasan di beberapa situs perjalanan-termasuk Tripadvisor-memiliki nilai yang bagus dengan komentar memuaskan, harganya pun bersahabat.
Destinasi pertama sesampai di Dieng adalah..... makaaaaan. Ah itu mah bukan destinasi. Hehehe. Kami menikmati Mie Ongklok pagi itu. Mie khas Wonosobo, yang kata orang, belum ke Dieng klu belum mencoba mie ongklok. Terus, enak ga? Klu anda penggemar Lomie, mungkin akan doyan, karena kuahnya mirip, pake tepung kanji gitu. Saya sih, agak kurang doyan ya, karena "berlendir". Hehehe... tapi habis juga, lapar dan kedinginan, jadi butuh bahan bakar untuk menghangatkan tubuh. Mie ongklok dimakan dengan sate sapi. Kalau saya sih ditambah dengan paha ayam kampung goreng. Setelah makan mie ongklok, badan masih terasa dingin, kami putuskan untuk minum kopi di homestay yang kebetulan menyediakan kopi luwak aseli, katanya. Lumayan sih, dan cukup asam ternyata, apalagi saya bukan pekopi berat.

Wisata Dieng

Setelah ngupi ngupi syantiek, kami bertanya tentang wisata Dieng ke petugas homestay, dan beliau menjelaskan dengan sangat rinci dan ramah sekali. Oya, namanya Pak Kelik, tapi bukan Kelik Pelipur Lara (ada yang tahu??? hehehe), juga bukan Pak Keli Suradi, calon mertuanya Dea [Lah, siapa mereka??? Hehehehe]. Lalu kami putuskan juga untuk menyewa motor untuk dua hari ke pihak homestay. Dengan dibekali peta wisata Dieng dan bensin motor full tank, kami menjelajah Dieng, dan tujuan pertama adalah Telaga Warna. Dari penginapan sangat dekat, hanya sekitar 10 menit.


Katanya sih, telaga ini dinamai telaga warna karena warna airnya yang sering berubah karena kandungan sulfur yang sangat tinggi. Telaga warna ini dikelilingi oleh bukit hijau dengan udara yang sangat sejuk, meski bau belerang sangat menyengat sih. Selain telaga warna, daerah sekitarnya juga terdapat tempat-tempat yang cukup mistis. Ada goa yang biasa dipakai untuk bertapa para resi di zaman kerajaan dulu. Terdapat juga patung-patung tokoh seperti Gajah Mada dll. Selain itu, juga ada satu telaga lagi yang letaknya bersebelahan dengan telaga warna, yaitu Telaga Pengilon. Cuma kami hanya melihat dari jauh, karena mirip-miriplah, lagian suhunya cukup terik meskipun baru jam sembilan pagi. 
Tujuan selanjutnya adalah Dieng Plateu Theatre, objek wisata yang berupa bioskop yang memutarkan film-film dokumenter tentang Dieng, baik itu tentang fenomena alama, maupun budaya masyarakat Dieng. Namun, disini kami hanya singgah saja, tidak nonton film, titip parkir motor, lalu langsung "mini hiking" menuju Batu Pandang Ratapan Angin, objek wisata berupa bukit yang menyajikan pemandangan aduhai. Jarak tempuh dari Dieng Plateu Theatre sekitar 15 menit jalan kaki. Di atas, terdapat beberapa titik untuk melihat pemandangan Dieng Plateu. Dari sini terlihat indahnya telaga Warna dan telaga Pengilon. Di sisi lain puncak bukit ini, juga terdapat Jembatan Merah Putih. Jembatan sepanjang sekitar dua puluh meter ini terbuat dari kabel baja yang menghubungkan dua titik tempat melihat pemandangan. Jembatannya tidak terlalu tinggi, namun cukup goyang ketika dilewati.

=== bersambung

Share:

1 Comments:

annisaa_ica said...

wih gaya jalan-jalan

c'est moi

Member of

1minggu1cerita